Minggu, 01 April 2012

Mandera na Metmet

















Mandera na Metmet
(Bendera Kecil)
Novel Bilangual dalam bahasa Batak dan Bahasa Indonesia
Karya Saut Poltak Tambunan


Setiap hari saya berdoa "jauhkanlah kami dari pencobaan". Akan tetapi sudah 2 kali saya menghadapi pencobaan dari Tulang dan Pariban saya Saut Poltak Tambunan.
Pertama, entah dasarnya dari mana, saya diajak oleh beliau ini untuk ikut menjadi pembahas bukunya yang baru saja terbit "Torsatorsa Hata Batak Manongkal Holi', padahal saya bukanlah seorang penggemar apalagi pembaca karya sastra yang baik. Kalau pun ada bertumpuk Novel-novel di rak Buku keluarga kami, janganlah berprasangka bahwa saya pernah menyentuh itu. Buku-buku itu adalah milik Istri saya, yang memang seorang “kutu buku”, dan pemburu bacaan karya sastra, dan seringkali berpinjam buku dan lupa tak dikembalikan dengan adek saya Elkana Lumbantoruan. Ajakan menjadi pembahas sebuah karya sastra, dalam bahasa batak lagi, benar-benar pencobaan yang sangat berat, sampai2 saya kehilangan waktu tidur saya, dan asam lambung meningkat. Apalagi dipersandingkan dengan seorang pengamat budaya berkaliber sejuta penggemar sekelas Suhunan Situmorang, hari-hari saya benar-benar tidak nyaman membayangkan harus memberikan ulasan terhadap karya seorang penulis sekaliber SPT yang telah berkarya hampir 40 tahun dengan puluhan buku2 yang telah menjadi best seller dikalangan penggemarnya.
Pencobaan kedua kemudian datang, belum lama berselang setalah diskusi buku "Mangongkal holi" tersebut melalui email yang saya terima dari beliau meminta saya membuat sedikit tulisan pengantar pada Novelnya yang akan diterbitkan berjudul "Mandera na Metmet". Email tersebut saya terima ketika saya dalam perjalanan pulang ke rumah di tengah kemacetan Jakarta, dan keringat dingin langsung meluncur membaca email tersebut. Beruntung dengan kemajuan teknologi, dalam kemacetan tersebut saya mencoba membaca naskah yang dikirimkan, dan dalam waktu 2.5 jam perjalanan tersebut saya bisa menyelesaikan dengan membaca cepat semua naskah tersebut. Kalau membuat executive summary sebuah proposal business mungkin sudah menjadi pekerjaan sehari-hari, tapi membuat executive summary sebuah karya sastra, sunggu membuat saya gemetaran. Karena kebiasaan saya kalau membaca novel-novel atau sejenisnya saya langsung ke Bab-babnya, dan sangat jarang membaca prolog atau komerntar2 pendahuluan tentang buku tsb. Saya balas emailnya beliau sembari mengatakan, Tulang, saya sangat bangga dan menghargai usahanya untuk menulis karya2 sastra dalam bahasa Batak dan habatahon, dan akan mencoba membuat prolog buku tersebut, akan tetapi kalau ada yang lebih baik, jangan ragu-ragu untuk menggantikannya.

Mandera na Metmet - "Anak-anak Batakpun ikut berperang mempertahankan Kemerdekaan".

Seumur saya, sangat jarang saya mendengarkan cerita-cerita orangtua tentang perjuangan kemerdekaan yang nyata terjadi di kampung kami, atau di lingkungan tanah batak, melalui penuturuan orangtua atau kerabat tentang pengalaman mereka di masa penjajahan maupun paska kemerdekaan. Kalaupun ada, mungkin cuma perjuangan Sisingamangaraja XI I seperti yang sering kami tonton melalui Opera Serindo, atau dari pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan. Seringkali timbul perasaan iri setiap menjelang 17 Agustus, cerita2 sinetron atau film2 tentang kemerdekaan Indonesia kita hanya menyaksikan kehebatan pahlawan2 kemerdekaan dari suku-suku lainnya, atau paling tidak hanya sebatas kota Medan saja. Apakah di kampung kita sana, di Tapanuli (dahulu Tapanuli Utara, atau Keresidenan Tapanuli) tidak terjadi perang kemerdekaan, sehingga tidak ada tokoh atau cerita tentang perjuangan mereka yang tersisa untuk menjadi renungan bagi anak2 Batak?.

Dalam buku Kumcer "Mangongkal Holi", bagian Omak, SPT juga memaparkan sekilas bahwa tembak-menembak dalam era paska kemerdekaan seperti yang terjadi di kampung-kampung lain di Indonesia juga terjadi di sekitar Balige. Cerita inipun masih bisa saya bayangkan, seperti yang terjadi di sekitar tahun 1965 di mana kami anak-anak waktu itu setiap malam harus ikut berlindung dan masuk ke Lubang persembunyian walaupun tidak mengerti apa yang terjadi waktu itu. "Mandera na Metmet" membawa kita untuk membayangkan kondisi anak-anak Batak yang ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan jiwa kekanak-kanakan mereka.

Cerita “Mandera na Metmet” mengambil setting perjuangan kemerdekaan sekitar agresi militer Belanda I sekitar tahu 1947 – 1948, yang dituturkan oleh Tokoh Ompung yang begitu akrab, komunikatif dan dirindukan oleh cucu-cucunya Batara, Uli dan Hasian. dan kemungkinan besar terjadi di sekitar Onanrunggu Sipahutar, agak mirip dengan gambar yang dibuat menjadi cover dari Novel ini.

Kepiawaian menyusun struktur cerita dalam buku ini, membuat kita berada pada posisi Batara, Hasian dan Uli yang selalu penasaran untuk segera tahu kelanjutan cerita tokoh Ompung. Rasa penasaran ini selalu terbentur dalam keterbatasan waktu dan disiplin yang ditetapkan oleh orang tua mereka.

Jeremia dan Jekjek kita temukan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Anak-anak berumur sekitar 12 – 14 tahun, tidak bersekolah. Mereka memahami arti merdeka, penjajahan, makna keberanian, kesetiakawanan dan nilai-nilai perjuangan, bukan dari bangku sekolah, melainkan dari persoalan-persoalan kehidupan yang mereka saksikan masa itu.

Sifat anak-anak yang sangat natural mengalir dengan baik. Keterlibatan anak-anak dalam cerita ini dituturkan tanpa kesan heroic yang dibuat-buat. Perkenalan si Jekjek dengan si Jeremia diawali dengan perasaan iri si Jekjek yang merasa tersaingi dengan kehadiran si Jeremia, dibangun begitu indah menjadi persahabatan yang sejati antara dua anak-anak, meskipun berakhir dengan mengharukan. Begitu juga dengan ketulusan masyarakat desa dalam bahu membahu, berbagi suka dan duka dengan teman sekampung, serta memberikan dukungan kepada para pejuang. Semua itu disajikan dengan baik seolah-olah kita sedang berada dalam kekalutan hidup mereka untuk ikut mengungsi menghindari kekejaman si penjajah Belanda.
Penulisan cerita ini dalam dua Bahasa, pasti akan sangat membantu kalangan muda orang Batak untuk menikmati cerita langka ini. Saut Poltak Tambunan, si penulis cerita berusaha sekali mem”batakkan” cerita-cerita tersebut dengan memasukkan nilai-nilai muatan lokal habatahon sebagai “ poda” (nasihat) yang layak direnungkan pada masa kini.

Dengan terbitnya Novel ini, saya sangat berharap menjadi inspirasi bagi penggiat karya sastra Batak dan Habatahon. Tulang/pariban saya SPT seakan mendobrak semua hambatan-hambatan yang selama ini mengganjal bagi para penggiat karya sastra orang Batak untuk menerbitkan karya-karyanya. Menerbitkan kumpulan cerpen dalam bahasa batak "Mangongkal Holi" saja sudah menjadi perjudian yang sangat besar, belum dalam hitungan tahun, kenekatan (gejolak hati yang membara) dari seorang Saut Poltak Tambunan, kembali memberanikan diri untuk menerbitkan karya sastra berupa Novel cerita perjuangan anak-anak Batak dalam dua Bahasa dan Bahasa Batak lagi. DITULIS sendiri, DIKERJAKAN sendiri, DITERBITKAN sendiri, DIJUAL sendiri.....dalam usianya yang tidak muda lagi, apa yang dilakukan oleh Saut Poltak Tambunan semoga menjadi pendorong untuk lahirnya karya-karya lain tentang Batak dan Habatahon. Juga sangat berharap agar para penggiat sastra orang Batak dan Tulang Saut Poltak Tambunan berkenan saling membuka diri, berbagi pengalaman, dan saling mendukung untuk lahirnya karya2 bermutu lainnya dari para penggiat sastra batak yang selama ini terganjal dengan hambatan-hambatan ekonomis untuk menerbitkan karya-karyanya.

Selamat untuk Tulang Saut Poltak Tambunan, Selamat untuk orang Batak, akhirnya kita punya cerita tentang anak-anak Batak Pemberani yang ikut mempertaruhkan jiwanya demi tegaknya Indonesia raya.